(Cerita) Serotonin

Jam dinding di kamar sudah menunjukan pukul sembilan malam. memaksa Arin, seorang gadis dengan label strict parents di pergelangan tangannya untuk segera tidur. Ia menutup buku tulis dengan label 'Fisika' yang ada di sampul depan buku dan segera berlari menuju ke arah kasur. Bersamaan dengan itu, ibu Arin yang bernama Widya juga datang menuju kamar anak gadisnya itu untuk mengingatkan hal serupa. Menyadari kehadirannya, Arin dengan segera mengiyakan, "Iya, ini udah mau tidur, kok." 

Sepuluh menit berlalu, rasa kantuk itu tidak segera datang. Arin menyandarkan tubuhnya, melihat sekitar. Mengambil buku novel yang terlihat menarik perhatiannya. Bersampul oranye dengan dekorasi ranting pohon yang menjalar. 

Buku berjudul "Navillera" itu merupakan buku favorit Arin yang sudah bersemayam di rak buku selama lebih dari tujuh tahun lamanya. Kertas buku itu terlihat sudah menguning dan sedikit berkeriput. Membuka halaman pertama, pandangannya tertuju pada tulisan yang berada di ujung kanan atas cover buku bagian dalam, yang tertulis: A. S. 

Melihat itu ia tersenyum tipis.

Setelah kemudian ia memutuskan membuka beberapa halaman, sebelum pada akhirnya kembali menutup buku itu sepenuhnya.
 
Alarm jam dering berbentuk kucing milik Arin pun berbunyi. Membangunkan Arin yang masih terlelap dalam tidurnya. Dengan sentuhan tangan saktinya, alarm yang keras berdering itu mati seketika. Sedikit sempoyongan Arin berjalan keluar, menuju kamar mandi.

Singkat cerita setelah ia selesai bersiap-siap, ia melihat dari dalam kamar ibunya yang sudah mondar-mandir menyiapkan sarapan. Setelah selesai dengan urusannya yakni menyiapkan keperluan sekolah hari ini, ia berjalan menemui ibunya di ruang makan. 

"Hari ini masak apa, mah?" Ibunya yang mendengar itu membalikan badannya, melihat putrinya yang sudah manis dengan pita berwarna nila menghiasi rambut pendeknya. Bu Widya tersenyum, "Hari ini mamah masak bubur kesukaan kamu," Arin antusias mendengarnya, dengan segera ia duduk menyantap bubur tersebut. 

Arin berangkat sekolah dengan penuh rasa optimis. Duduk di kursi belakang sambil disupiri oleh sang ibu, Arin kembali me-review tugas yang semalam ia kerjakan. Ibunya yang melihat aktivitas anaknya itu melalui kaca spion depan, seketika tersenyum, kemudian ia berkata: “Rajin banget anak ibu.” Arin menolehkan pandangannya menuju kaca spion itu, “Iyah, hari ini Arin ada ujian.”

“Bagus. Belajar yang pinter ya, nak.” Arin mengangguk, “Kalau nilai semester kamu kali ini bagus, nanti mamah beliin apa yang Arin mau.” Arin mengiyakan, mempererat genggamannya pada buku yang ia pegang. Menandakan tekad yang kuat untuk memberikan yang terbaik.

Sesampainya ia di sekolah, Arin bertemu dengan sahabat dekatnya, namanya Lina. Arin dapat menyadari kehadiran sahabatnya itu ketika mencium aroma parfum yang sudah sering Lina gunakan, aroma Pink Peach. Rambut ikat panjang ponytail Lina pun juga terlihat begitu jelas dalam pandangan, “Sudah pasti itu Lina,” gumamnya, sambil sedikit berlari menuju sahabatnya itu yang berjarak kurang dari lima meter.

“Dor!” Arin mengejutkan Lina diikuti tepukan di pundak. Lina yang terkejut spontan berteriak dan segera menoleh ke belakang, melihat Arin sudah berdiri tegak di hadapannya, “Arinnn..!” ucapnya, geram.

Arin tertawa melihat ekspresi temannya itu. Sambil menggandeng tangan layaknya seorang kakak-adik, Arin bertanya kepada Lina bagaimana kabarnya hari ini.

“Baik,” jawabnya sedikit ketus. Arin yang melihat itu sontak bertanya, “Kamu kenapa?” Lina menggeleng-gelengkan kepalanya, berkata kepada Arin kalau hal tersebut bukanlah hal yang penting.

Seperkian detik Arin mengubah bentuk wajahnya, wajah seperti anak kecil yang penuh akan pengharapan agar diberikan sebuah mainan. Menggunakan nada rayuan, Arin berkata: “Lina kok begitu sama Alin..” Mendengar temannya berkata dengan nada seperti itu, membuat ekspresi gadis berusia 18 tahun ini seketika memelas tak tega.

Dengan satu tarikan nafas, Lina berkata: “Aku hari ini kesal, ngeliat ayah dan ibuku berantem lagi.” Arin tertawa kecil, “Haha, nggak selesai-selesai perseteruan ayah sama ibu kamu ya!” Lina mengangguk setuju, “Gara-gara itu, mood aku langsung jelek, nih. Bisa-bisa berdampak ke nilai ujian aku nanti.”

Simpati kepada sahabatnya itu, dengan segera Arin menepuk pundak Lina sambil memberikan kata-kata manis nan meyakinkan, “Nggak apa-apa, Lina. Nggak usah dipikirin. Fokus aja sama ujian kamu hari ini.” Bosan mendengar ucapan itu, Lina hanya mengulang kalimat yang Arin ucapkan, “Aku udah kesal tau!”

Perbincangan tersebut pun berhenti tatkala bel sekolah mulai berbunyi. Membuat aktivitas yang ada di luar kelas seketika sepi. Dalam sepersekian detik, guru mata pelajaran Fisika yang saat ini akan melaksanakan ujian sudah ada di depan kelas. Ia tak sendiri, ia membawa serta asisten pribadinya yang memiliki wajah tampan.

Kelas yang awalnya berisik seketika hening, Pak Hengky memulai perbincangan dengan ucapan selamat pagi diikuti balasan seisi kelas. Kemudian, tangannya terangkat menunjuk asisten yang dari awal masuk kelas tadi mengikutinya, “Perkenalkan, murid baru kelas ini,” ucapnya.

Kelas yang sebelumnya hening seketika riuh. Banyak siswa yang bertanya-tanya, khususnya para kaum hawa yang terlihat antusias seperti melihat buah khuldi. Laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kelas itu memiliki postur tubuh tinggi nan tegak, berparas tampan, rambut yang bergelombang sampai alis, badan putih bersih, serta memiliki tanda tahi lalat di leher. Sosok itu berhasil menarik perhatian semua orang, tidak terkecuali Arin.

Lina yang terlihat lebih antusias seketika mengalihkan pandangannya ke arah Arin, “Cakep banget dia, rin!” Arin mengangguk setuju. “Kayak artis, ya!”

“Perkenalkan, namaku Reno. Reno Laksana Putra,” ucapnya sedikit gugup. Tingkah kikuk siswa baru tersebut seketika membuat para siswi yang ada di dalam kelas berteriak gemas.

“Aku siswa baru di SMA Arunika II ini, aku siswa pindahan dari Jakarta. Salam kenal teman-teman.”

Dengan kompak seisi kelas membalas salam dari Reno, “Salam kenal juga, Reno!”

Pak Hengky mempersilahkan Reno untuk duduk di kursi depan baris paling kanan. Tepat di depan Arin dan Lina yang berada di kursi kedua.

Karena Reno yang baru masuk, Pak Hengky memutuskan untuk menunda ujian. Justru mengalihkan kegiatan ujian itu dengan mengkoreksi tugas minggu lalu. Para siswa yang mendengar itu sontak terkejut, terutama para siswa laki-laki yang panik dibuatnya, "Bangsaaaattt.."

Setelah mata pelajaran yang menyiksa para kaum adam itu selesai. Singkat cerita, bel istirahat pun berbunyi. Saat berjalan ke kantin, Arin melihat dari kejauhan Reno yang pagi tadi berhasil menarik perhatian kelas X. A (baca: 10 A) sekarang sudah berhasil menarik perhatian satu sekolah. Arin yang melihat itu berhenti sejenak, memikirkan di mana ia hari ini akan makan. 

"Aku makan di kelas aja, deh," gumamnya dalam hati. 

Ia berhenti di depan warung Bu Lia, warung milik seorang ibu-ibu yang menurut penuturannya masih jauh dari penuaan, menjual makanan siap saji paling murah seantero sekolah. Arin menyamakan warung milik Bu Lia sama seperti artis yang sedang naik daun- Tidak, mungkin untuk sekarang, Arin akan membandingkannya sama seperti Reno. Ya, digemari semua orang.  

Memesan menu favoritnya, ayam pedas manis dengan kuah bayam. Arin beranjak pergi dari kantin. 

Masuk ke dalam kelas tidak ada yang ia temukan selain kesunyian, "Tempat favoritku!" soraknya dalam hati. Menarik earphone dari dalam tas, ia mendengarkan lagu Radio Ga Ga dari band favoritnya, Queen, dan kemudian menyantap ayam pedas manis yang baru saja ia beli.

Bersenandung kecil, menikmati lagu dan ayam bagian paha merupakan pengalaman terindah yang sedang dirasakan Arin saat ini. Tak sadar, seseorang dengan postur tubuh yang menjulang tinggi sudah ada di sampingnya. Merasa tak asing, ia melihat ke sosok tersebut, itu adalah Calvin. 

Calvin tertawa melihat tingkah Arin saat itu, "Kamu lagi ngapain, Rin?" tanya Calvin, terkekeh. Arin yang melihat Calvin sudah berdiri di hadapannya tidak dapat melakukan hal lain selain salah tingkah. "Nggak apa-apa, kok. Lagi makan aja, sambil denger lagu." 

Calvin tersenyum, "Kamu nggak makan di kantin?" 

Arin menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kantin lagi rame hari ini, aku males." 

"Karena lagi ada murid baru yang narik perhatian semua orang ya? Makanya kantin rame." Arin mengangguk setuju, sambil fokus mencari lagu selanjutnya yang akan ia dengar. Calvin yang melihat ada lagu kesukaannya di list lagu milik Arin dengan antusias segera menunjuk, "Aku suka lagu ini!" 

Hanabi, Mr. Children.

Arin yang mendengarnya tersenyum, "Aku juga suka!" 

"Calvin mau ngedenger lagunya?" Tanpa ragu ia menyetujui ajakan Arin. Melihat teman sekelasnya yang antusias itu, Arin mencabut earphone yang sedang ia pakai, lalu memutar lagu itu dengan volume yang agak kencing agar Calvin bisa ikut mendengarnya, "Aku sambil makan ya, Calv." Calvin mengiyakan.

Setelah lagu selesai diputar, Calvin menceritakan kesukaannya yang mendalam dengan lagu-lagu Jepang. Tanpa bereaksi banyak, Arin hanya bisa tersenyum mendengarnya. Sejurus dengan beragam penjelasan yang dilontarkan, Calvin menutup penjelasannya itu dengan sebuah pertanyaan, "Arin suka baca novel?" 

Arin tersenyum, kemudian mengangguk.

"Oh ya, novel kesukaan Arin apa?" tanya Calvin, antusias.

"Navillera," balasnya. 

"Oh ya? aku nggak pernah denger, sih. Emang itu novel karya siapa?" 

"Iya, soalnya novel itu cuma ada satu. Buatan Arda Soesanto. Mendiang kakak aku."

Calvin mendengar penjelasan itu dengan mata berbinar, "Kakak kamu suka nulis?" Arin mengangguk. "Iya, Kak Arda suka nulis." 

"Emang novel itu tentang apa, Rin?" Arin terdiam sejenak, lalu menjawab: "Tentang.. seorang tentara laki-laki, yang hidup di tahun 40-an, ikut bergerilya melawan penjajah di sebuah hutan. Tak lama bergerilya, tentara laki-laki itu kemudian tewas terbunuh setelah dikepung oleh musuh, namun sebelum benar-benar pergi dari dunia.. dia tiba-tiba diberi kesempatan bereinkarnasi menjadi kupu-kupu selama 10 menit," jelasnya.

"Waktu 10 menit tersebut, tentara itu gunakan untuk mendatangi orang-orang yang dia sayang. Ayah, ibu, adik, serta pasangannya. Sebelum ia benar-benar pergi. Begitu, Calv." 

Calvin bertepuk tangan mendengarkan penjelasan dari Arin, "Kakak kamu keren!" Arin tersenyum senang mendengar pujian itu.

"Iya, dia emang keren. Tapi sayangnya dia udah nggak ada, aku kadang mikir.." 

"Mikir apa, Rin?" 

"Kakak aku bisa bereinkarnasi juga gak ya kayak cerita yang dia buat? Soalnya dia ngeselin nggak pamitan sama aku." 

-

 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Cerita) Salmon dan Lele

(Cerita) Garam Merindukan Bulan

(Cerita) Apel & Keju