(Cerita) Apel & Keju

Namaku Erin, seorang mahasiswi program studi Sosiologi di salah satu kampus swasta di negeri ini. Aku suka sekali makan martabak coklat-keju lebih dari siapapun. Menurut Erin et al., (2020) Aku memiliki kapasitas otak yang sedikit di bawah rata-rata, yang hal tersebut berakibat pada kemampuanku dalam mengingat. Penjelasan tambahan dari teman kelasku, aku juga seseorang yang mudah ditipu, dikerjain, dirundung, bahkan ketika mengalami pengalaman-pengalaman itu aku sama sekali tidak menyadarinya.

Dirundung? Aku kira aku sedang diajak bermain petak umpet kotak pensil. 

Aku memiliki seorang pacar yang juga berkuliah di kampus yang sama, ia menempuh studi di program studi Pendidikan Bahasa Inggris. Dia.. sama saja sepertiku, hanya beda kelamin saja sepertinya. Kami berdua sadar kami terlalu polos sebagai seorang mahasiswa dan mahasiswi. Tapi justru, hal tersebut lah yang membuat kami bahagia. 

Sambil menulis cerita ini aku jadi berpikir. Pacarku sifatnya sama seperti diriku karena memang kita berdua sama, atau.. diriku saja yang memang tidak dapat memahami dirinya dengan baik? Entahlah. 

Namanya Galuh, setiap pulang kuliah dia selalu menungguku di gedung Fakultas Ilmu Sosial sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tunggu ruang fakultas. Tidak jarang aku melihatnya sudah terlelap dalam tidurnya di atas kursi itu, "Galuh, bangun yuk. Aku udah pulang."

WHAH! Kaget! teriaknya, mengejutkan seisi ruangan. Termasuk diriku. Sambil menyipitkan mata, ia melihat ke arahku, memastikan, "Oalah, si cantik udah selesai kuliahnya." Ia tersenyum, kemudian berdiri lalu menarik tanganku, "Yuk, aku anter kamu pulang." 

Saat sampai parkiran ia memberikan helm miliku yang sebelumnya tergantung di kaca spion motornya. Tak lama setelah bersiap-siap, ia menaiki motor itu sambil menungguku melakukan hal serupa. "Wha!" ia terkejut, lagi, "Kenapa, Galuh?" Ia turun dari motor.

"Tas aku ketinggalan di kelas!" 

Tanpa menunggu penjelasan dariku, ia langsung berlari diiringi ocehan, "Kamu tunggu di sini ya, sayang!" Aku menunjukan raut wajah bingung ketika melihat ia berlari, raut wajah yang juga aku tampilkan ketika kelas tadi saat memahami penjelasan dari Prof. Suseno, "Iya, hati-hati," ucapku.

Aku jadi sadar, ia memang sama sepertiku, 

..dan aku juga sadar, mengapa aku tidak menyadari kalau sedari tadi Galuh tidak membawa tasnya? 

Tak berselang lama ia kembali, membawa tas ransel yang terdapat gantungan kunci karakter domba imut, pemberian dariku. 

"Maaf yah!" Dia menunjukkan raut wajah penyesalan, aku tersenyum, "Iyah, gapapa! Aku juga heran kok aku nggak sadar ya kamu nggak bawa tas dari tadi." Mendengar penjelasan dariku, ia tertawa hebat, diikuti diriku yang tak sadar juga ikut tertawa melihatnya.

Di atas motor aku bercerita kepadanya kalau hari ini aku diomeli dosen karena tugas yang aku kerjakan terdapat banyak kesalahan. Aku merasa tidak enak dengan teman-teman kelompokku karena hal itu. Sambil mengeratkan pelukanku kepadanya ia berkata, "Nggak apa-apa. Erin ngerjain udah ngerjain dengan sungguh-sungguh, kan?" Aku mengiyakan, namun tetap saja merasa hal tersebut terjadi karena ketidakmaksimalan yang aku berikan. 

"Kalau Erin udah ngelakuin yang terbaik, nggak apa-apa kok. Buktiin di tugas-tugas selanjutnya Erin bakal ngelakuin yang lebih baik lagi. Untuk saat ini, yang Erin lakuin sekarang udah cukup," ucapnya, sambil terus fokus menatap ke jalan, "Galuh, bangga kok sama Erin." 

"Iya, makasih ya Galuh," ucapku pelan. 

Aku terkadang melihat Galuh di momen tertentu bisa menjadi teh celup yang dapat menenangkan orang-orang yang menyeruputnya. Apakah waktu Tuhan menciptakan Galuh Dia menggunakan bahan utama berupa teh? Entahlah, hanya Tuhan saja yang tahu. Namun, terlepas dari itu, aku selalu senang ketika Galuh meyakinkan aku kalau semuanya akan baik-baik saja. 

"Erin kalau mau bobok di pundak Galuh juga boleh, tapi peluk yang erat, ya?" ucap laki-laki berzodiak Cancer yang tiba-tiba menyadarkan lamunanku, "Iya Galuh," Ia tersenyum, aku memang tidak melihat raut wajahnya saat itu, tapi entah mengapa aku tahu dan yakin ia sedang tersenyum. 

Sesampainya di rumahku, Galuh langsung segera meminta izin untuk pamit. Namun, sebelum ia pulang, aku bertanya kepadanya, "Galuh sayang sama aku, kan?" ia mengangguk, "Kenapa Galuh sayang sama aku?" 

Ia terdiam sejenak, begitupun aku. Entahlah, waktu terasa lama di momen ini.

Tak lama setelah itu, mulutnya pun bergerak, aku menunggunya dengan antusias. Dengan segera, ia pun menjawab pertanyaanku, "Terlalu rumit kalau Galuh jelasin, tapi intinya Galuh mau Erin ada di hidup Galuh," ucapnya, sambil diiringi senyum lebar khas yang hanya dimiliki oleh dirinya.

Aku terdiam mendengar ucapan laki-laki teh celup itu. "Erin aku pulang dulu ya, aku takut dibegal kalau pulangnya kemaleman." Masih tak mampu berkata-kata, aku hanya membalas ucapannya dengan anggukan. 

10 menit setelah Galuh mengantarku, ia mengirimkan aku foto dirinya sedang membeli batagor, "Mam batagor," tulisnya.

"Ih tadi pas sama aku nggak beli," jawabku. 

"Nanti kamu nggak kuat," 

"Hah?" 

"Makan batu bata goreng."

Ya, selalu, Galuh dengan bercandaan recehnya. Namun, entah mengapa, se-garing apapun candaan yang dilontarkan laki-laki penyuka apel hijau itu, aku selalu tertawa melihatnya. 

Keesokan harinya, Galuh bertanya kepadaku, seperti ini tulisan spesifiknya, "Apakah dirimu hari ini ada kelas wahai kanjeng ratu?" 

"Tidak kanjeng raja," balasku. Tak lama, ia membalas pesanku itu dengan stiker wajah sedih, diiringi kalimat, "NOOOO, aku ada kelas." Aku tertawa melihat pesannya itu, "Semangat iya Galuh gantengg!" 

Masih mengirim stiker wajah sedih, ia menulis, "Ngga solid prodinya," Aku balas pesannya itu dengan emoji mengejek. "Sosiologi, s-nya santai terus!" 

Aku hari ini menonton anime kesukaanku untuk menghabiskan waktu luang. Aku ingin sekali mengerjakan tugas, tapi sepertinya itu bisa kulakukan nanti. Sebelum pacaran dengan Galuh aku sama sekali tidak tahu dan sama sekali tidak menyukai anime. Tapi semenjak jadi pacarnya, tidak ada kegiatanku di waktu luang tanpa menyertakan anime di dalamnya. 

"Galuh, aku mau nonton anime dulu, ya!" Galuh mengiyakan, "Semangat dan have fun kanjeng ratu," balasnya, sambil mengirimkan stiker wajah antusias kepadaku. 

Satu jam, dua jam, hingga tiga jam aku menyibukkan diri dengan menonton anime, tanpa sadar ibuku sudah berdiri di depan kamar. Aku terkejut melihatnya, "Kenapa, mah?" Sambil menunjukkan padaku raut wajah kesal, ibuku berkata, "Ish, mamah panggilin gak nengok-nengok. Itu, ada Galuh di depan rumah." 

Dengan antusias aku berlari menuju keluar rumah. Sesampainya di depan rumah, terlihat Galuh yang sudah berdiri menungguku sambil menggunakan outfit kesukaannya, all black.

"Alo, alo, alo," ucapku membuka percakapan. Aku melihatnya tersenyum, lalu ia berkata, "Tebak aku ke sini mau ngapain?" Aku mengangkat kedua bahu, "Kenapah?" Tanpa banyak petunjuk ia mengeluarkan satu plastik berisi martabak coklat keju kesukaanku. "JENG JENG! Kesukaan Erin."

Mataku berbinar melihat martabak yang ia pegang, "Mauw!" Galuh tertawa kecil melihat tingkahku yang seperti itu. Mungkin karena ia merasa hal tersebut lucu. Mungkin. 

"Aku tadi pas jalan pulang kuliah tiba-tiba inget kamu, makanya aku mau mampir." 

Astaga, dia manis sekali.

"Galuh mau keliling-keliling dulu ngga sama aku? aku kangen." Galuh sedikit bingung, "Kita kan baru aja ketemu kemarin," Melihatku cemberut, ia dengan cepat segera meralat kata-katanya, "Yuk! Kita keliling perumahan ini!" 

"Yeay!" sorakku dalam hati.

Aku bersama Galuh keliling di perumahan yang begitu luas ini. Padahal usiaku saat ini sudah genap 20 tahun, sama seperti usia ketika kedua orang tuaku pindah ke lingkungan ini. Namun, entah mengapa aku masih saja belum hafal berbagai jalan atau tempat yang ada. Mungkin karena aku perempuan? 

Kemudian juga, walaupun aku sudah sering dibonceng Galuh setiap mendatangi berbagai tempat, aku tidak pernah sedikitpun bosan. Kenapa ya? Apa mungkin karena aku sayang Galuh?

"Galuh, gimana kuliah hari ini?" tanyaku. 

"Baik kok, aku tadi pas berangkat kuliah nggak sengaja ngeliat mas-mas jatuh. Jadi kepikiran." Aku yang mendengar penjelasan darinya seketika terkejut. "Lho, terus masnya gimana?" 

Ia menjelaskan, kalau mas-mas yang terjatuh baik-baik saja. Toh, dia jatuh karena tak mampu menahan beban motornya saat berhenti, jadi tidak begitu keras. Namun, bukan itu yang jadi bahan pikiran Galuh saat ini, "Terus apa, dong?" tanyaku. 

"Duit mas-masnya jatuh, lima ribu, aku nggak sempet ngambil."

Spontan aku menarik rambutnya itu setelah mendengar penjelasan darinya, "Kamu ya! Bukannya nolongin!" ucapku, kesal. Ia yang mendengarnya hanya tertawa. 

"Kalau Erin cantik hari ini ada kegiatan apa?" 

"Nonton anime aja, sih." Galuh mengangguk, "Efek nggak punya temen kali ya, jadinya nonton atau pergi kalau ketemu Galuh aja." 

Mendengar itu Galuh dengan segera kembali mengultimatum diriku, sama seperti kemarin, "Nggak apa-apa, sementara yang nemenin Erin anime dulu, terus aku, terus orang tua, terus orang lain, terus kucing, terus.. terus.." Ia memang tidak jelas. "Kamu mau aku jambak lagi?" 

"Erin, besok ikut Galuh yuk, nonton bioskop gratis." Tanpa ragu aku menganggukan kepalaku dengan sangat-sangat-sangat antusias, "Yuk!" 

"Emang film apa, Galuh?" Galuh menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nggak tau, aku dapet voucher gratis dari aplikasi provider wi-fi aku. Kayaknya film tentang setan-setan gitu." Mendengar itu aku jadi semakin antusias, tanpa sadar sore hari sudah memudar digantikan oleh malam, "Kita pulang yuk." 

Keesokan harinya aku sudah siap baik jiwa dan raga untuk menonton bioskop bersama Galuh. Singkat cerita, Galuh sudah datang menjemputku dan kami berdua pun berangkat menuju bioskop terdekat. Sebelum menyaksikan film horror itu, kami berdua memutuskan untuk membeli popcorn dan air minum. Khawatir Galuh dehidrasi saat menonton film tersebut. Ya, Galuh itu penakut.

"Kan kamu nggak suka film kayak gini, kenapa masih mau nonton?"

"Karena gratis," jawabnya singkat. Pemuda satu ini lebih terasa seperti mahasiswa program studi Ekonomi dibanding mahasiswa program studi Pendidikan.

Sesuai dugaan, selama penayangan film, Galuh lebih banyak menutup kedua matanya dibanding membukanya. Dia.. sangat.. penakut. 

Setelah selesai menonton film itu tidak ada yang ditunjukkan oleh Galuh selain wajah tegang yang pelan-pelan berusaha kembali menyesuaikan wajah normalnya. "Galih takut ya?" Tanpa ragu Galuh menganggukan kepalanya. Aku yang melihat dia se-berjuang itu menonton film yang tidak ia suka, kembali menanyakan pertanyaan serupa, "Kenapa masih mau nonton sih?" tanyaku, diiringi tawa yang datang.

Galih menoleh ke arahku, "Biar Erin seneng." 

Aku berusaha menebalkan muka setelah mendengar kalimat menggemaskan itu, "Oh iya? demi aku? berarti mau dong kalau diajak nonton lagi?" Galuh mengangguk, "Berapapun." Mendengar ucapannya itu, dengan refleks aku menyubit pipinya, "Gemas." 

Setelah membeli dua cone eskrim dan menikmatinya di tepi jendela mall yang begitu tinggi. Kami berdua pun akhrinya memutuskan untuk pulang. Saat di depan gerbang parkir, Galuh baru sadar jika ia tak sengaja menghilangkan tiketnya.

"Sudah kuduga," gumamku. 

Setelah kendala yang begitu merepotkan, akhirnya kami bisa pulang. 

"Maaf ya, Erin." Aku yang mendengarnya dengan segera mengeratkan pelukan yang melingkari Galuh. "Nggak apa-apa, aku yang terima kasih Galuh. Semenjak kenal sama Galuh, Erin bahagia banget."

TIN! TIN! Suara klakson truk memotong perkataanku, "Aih, shibal itu truk!" 

Pokoknya Erin seneng.

Galuh menghentikan motornya di depan minimarket, ia memutar badannya, menatapku. Tak lama, Galuh pun menangis, "Iya Galuh juga seneng," ucapnya terisak. Aku yang melihat Galuh menangis untuk pertama kalinya juga ikut menangis. 

"Kita aneh ya, Erin. Selain suka jalan berdua, kita nangis juga berdua." 

Aku mengangguk setuju, sambil merasakan pertarungan antara isak tangis dan rasa ingin tertawa.

Galuh.. 




...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Cerita) Salmon dan Lele

(Cerita) Garam Merindukan Bulan